Jumat, 09 Januari 2009

Menengok Keberadaan Pura Buwit di Desa Tulikup, Gianyar

Menengok Keberadaan Pura Buwit di Desa Tulikup, Gianyar
(by: Oka Suryawan)

Dulu Menjadi Lokasi Pelabuhan di Zaman Arya Pura Buwit yang berlokasi di pinggir pantai Tulikup Gianyar menyimpan nilai sejarah yang cukup tinggi. Zaman dahulu pura tersebut adalah pelabuhan para arya yang datang dari Pulau Jawa ke Bali Dwipa. Seperti apa?

SIANG kemarin, terik matahari begitu menyengat. Di jalan setapak sepanjang kurang lebih 300 meter masuk agak ke selatan itu tidak terlihat satupun warga yang melintas. Sepanjang jalan selebar kurang dari dua meter itu nampak pohon pisang menyambut. Jalan tersebut adalah jalan satu-satunya menuju Pura Buwit yang berlokasi di pinggir pantai. Lokasi pura sangat gampang dicari lewat jalan bypass Prof Ida Bagus Mantra. Lokasinya percis di timur jembatan Lebih- Tulikup. Agar tidak membingungkan umat, di pinggir jalan tersebut diisi plang khusus.

Lokasi pura sendiri terletak di tengah sawah dan sangat asri. Di utama mandala sendiri belum semua pembangunan permanen. Hanya terdapat sebuah palinggih pesamuan alit yang belum selesai dikerjakan. Tembok pura juga belum semuanya terpasang. Pura yang luasnya kurang lebih sepuluh are itu diempon warga Sangging se-Bali. Jumlah warga Sangging di Pulau Dewata ini diperkirakan mencapai 18 ribu jiwa. Hal itu dibenarkan oleh Ketut Wijana Sangging, salah satu pengempon Pura Buwit.

Menurutnya, piodalan di Pura Buwit berlangsung setiap Tumpek Wayang setiap enam bulan sekali. Sangging menceritakan, nama Buwit sendiri berarti pelabuhan. Ini tercantum dalam berbagai Susastra. "Dulu di sekitar pura diyakini menjadi pelabuhan para arya yang datang ke Bali. Sebagai bukti ada gundukan kecil yang ada di tengah pura," ujar Sangging meyakinkan.

Menurutnya, setiap berlangsung piodalan semua warga Sangging se-Bali datang sembahyang di pura tersebut. "Pura Buwit diyakini sebagai pura dasar Sangging di Bali," cetusnya meyakinkan.

Renovasi beberapa palinggih di utama mandala pura demikian Sangging dilakukan tahun 2005. "Renovasi belum bisa dilakukan secara penuh. Ini karena faktor biaya. Kita lakukan secara bertahap," ujarnya.

Yang penting kata Sangging, bagaimana warga Sangging di Bali bisa mengetahui keberadaan pura yang memiliki sejarah yang cukup tinggi. " Ini ibarat kawitan. Jangan sampai umat tidak mengetahui," ujarnya.

Suka Duka di Jaman Kali (Sebuah Fenomena Sosial)

Suka Duka di Jaman Kali (Sebuah Fenomena Sosial)
(by: Drs. I Wayan Catra Yasa)

Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma dan pembaca yang budiman,

Sebagaimana kita ketahui bahwa Hindu mengenal empat jaman dari Treta Yuga, Kertha Yuga, Dwapara Yuga dan yang terakhir adalah Kali Yuga. Kehidupan kita sekarang ini berada pada jaman kali Yuga. Pada jaman ini banyak hal yang terjadi dan bertentangan dengan hati nurani. Anehnya kegiatan yang justru bertentangan dengan konsep hati nurani banyak penggemarnya. Inilah yang perlu kita kaji dan menjadi acuan berpikir, berkata dan bertindak untuk tetap kiranya ajeg dalam tatanan ajaran Dharma.




Kehidupan ini terikat oleh suka dan duka, dimana segala pujian akan datang ketika dalam keadaaan suka dan begitu juga sebaliknya keadaan duka segala penderitaan dan hinaan datang bertamu kepada kita tanpa diuandang. Sesungguhnya Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak memberikan kita ujian berat yang melebihi kemampuan kita. Kejadian dan perbuatan asubha karma yang dilakukan oleh manusia pada saat ini merupakan contoh konkrit, bahwa ternyata antara kandungan suci falsafah agama yang begitu ideal ternyata pada pelaksanaannya tidaklah sejalan dengan ajaran agama, sistem pengendalian diri yang bersumber pada ajaran Tri Kaya Parisuda, pada saat ini tidak banyak orang yang mampu menerapkannya dengan berbagai alasan kondisi situasional. Penerapan berpikiran yang baik, saat ini sangat sulit dilakukan karena berbagai intrik pribadi maupun kelompok yang membentuk konfigurasi yang kompleks, sehingga manusia merasa saling berebut pembenaran untuk mencapai tujuan yang dianggap paling benar. Penerapan berkata yang baik sesungguhnya sulit juga dilakukan, tutur kata seseorang ibaratkan dapat membunuh orang lain meskipun tidak menyentuhnya secara phisik sedikitpun, tutur kata yang bijak menurut kelompok yang satu, belum tentu baik menurut kelompok yang lain, sehingga sulitlah berkata yang baik. Penerapan bertindak yang baik adalah hal yang lebih sulit lagi dijaman kali yuga ini. Sudah banyak hal-hal yang baik dilakukan misalnya kegiatan keagamaan, tirtayatra, korban suci dan yadnya yang menghabiskan biaya jutaan rupaih, tablik akbar, misa Gereja. Begitu juga banyak buku-buku agama yang tersedia sangat lengkap di mana-mana dan telah kita baca. Demikian pula halnya dengan banyaknya acara kegiatan solidaritas antara sesama manusia, juga telah banyak dilakukan di bumi Nusantara ini. Meditasi yang khusyuk, telah dilakukan oleh para sahabat spiritual, tetapi kenapa kekacauan ini tiada nampak berakhir?

Ada orang sedang diberikan ujian suka, hatinya gembira, hartanya melimpah, anak-anaknya berhasil, keluarganya sejahtera, sementara ada orang yang sedang diberikan ujian duka, hatinya bersedih, terperosok dalam kemiskinan, segala usaha ekonomi gagal, keluarganya morat marit. Pada hakekatnya kedua situasi di atas sesungguhnya sedang menguji umat manusia. Itulah resiko hidup di dunia yang terikat dengan material.

Bangsa Indonesia sejak dasa warsa terakhir disibukan oleh kegiatan para penguasa atau pemimpin negeri ini yang secara logika teori bisa menjadi pemimpin yang bijak, menjadi contoh ketika dia berada di garis depan atau sebagai pembangkit motivasi dikala berada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi pendengar setia ketika berada di balik layar. Tetapi apakah kenyataan yang kita jumpai, justru para penguasa memanfaatkan kesempatan itu untuk korupsi. Inilah fenomena yang terjadi di dunia material. Kegagalan dalam melaksanakan Catur Marga disebabkan karena segala perbuatan kita tidak menggunakan hati nurani di mana jiwa atman yang bersemayam di dalamnya. Kegiatan kegamaan yang nyata nampak, seolah semua itu telah sesuai dengan idealisme agama, namun kenapa kekacauan tetap terjadi? Kedudukan yang baik dan terhormat, posisi kuasa yang strategis, semua itu merupakan ujian bagi diri kita sendiri. Hal hal yang terjadi yang menyimpang dari Dharma merupakan timbangan tanggung jawab kita di hadapan Hyang Widhi sebagai pencipta alam raya semesta yang tengah memberikan ujian kepada kita.

Karma kita tidak bisa terhapus karena hal-hal baik ataupun buruk, tetapi semua saling mengisi dan sangat menentukan nilai perjalanan secara evolusi tentang atman. Kedudukan baik dan kesempatan baik hanyalah media uji kita, pada situasi demikian, kita harus menolong diri kita sendiri, karena ujian yang diberikan semakin sulit. Tindakan adharma adalah cerminan bagi kegagalan ujian kita, kegagalan ini harus dipertanggung jawabkan seperti yang tertuang dalam hukum karma. Pertanggung jawaban itu dapat saja datang ketika kita masih hidup di dunia, misalnya sang koruptor dapat dijebloskan ke dalam penjara, atau setelah kita tiada, sehingga dengan perbuatan yang asubha karma dapat mengakibatkan samsara, masuk neraka atau menjelma menjadi makhluk yang derajadnya lebih rendah.

Dengan demikian bahwa prinsip dengan hidup yang singkat, pergunakanlah sebaik-baiknya untuk merubah nasib kita di dunia material pada kehidupan yang akan datang. Kita sesungguhnya tidak menolong dunia, tetapi kita menolong diri kita sendiri, maka tolonglah diri kita sendiri selagi kita beruntung menjadi manusia yaitu dengan menyebarkan kebajikan, memberikan cinta kasih, bekerja tanpa pamerih untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia./f-igst

Semoga berguna,

Om Santih, Santih, Santih, Om

Pengendalian Emosi by Yulius Eka Agung Seputra,ST,MSi

Maharsi Dayananda mempunyai tukang masak yang sudah lama melayaninya yang bernama Jagannatha. Pada suatu hari Jagannatha disuap oleh seseorang yang benci kepada maharsi Dayananda ia dibujuk agar mau membubuhkan racun pada makanan yang akan dihidangkan kepada maharsi. Karena tergoda oleh uang yang dijanjikan maka jagannathapun mau melakukannya. Akibatnya maharsi Dayananda keracunan hebat sehingga tidak bisa bangun dan tinggal menunggu ajalnya. Dalam keadaan yang demikian maharsi memanggil Jagannatha: "Ini adalah uang untuk membeli tiket perjalananmu pulang ke Nepal. Cepatlah pergi sebelum pengikutku tahu, apa yang engkau telah perbuat, kalau tidak mereka akan mencabik-cabik tubuhmu menjadi berkeping-keping."

Contoh yang lain adalah Mahatma Gandhi pelopor perjuangan Swadesi/cinta kasih, dengan tanpa kekerasan memboikot industri inggris dengan memajukan Swadesi. Akibatnya ada juga orang benci kepadanya karena Mahatma Gandhi dipatuhi oleh rakyatnya. Kebencian telah menyebabkan seseorang menembak Mahatma Gandhi dengan senapan sehingga peluru menembus dadanya. Waktu itu Mahatma Gandhi meminta kepada mereka yang berusaha menolongnya agar membebaskannya dan mengampuni orang yang menembak dirinya.

Apa sebab maharsi Dayananda dan Mahatma Gandhi mudah sekali memaafkan orang yang membencinya? karena cinta kasih telah menjadi darah dagingnya, betapapun besar kebencian orang dijawab dengan uluran kasih. Karena kebencian tidak akan bisa dilenyapkan dengan kebencian, kebencian akan bisa dilenyapkan dengan cinta kasih. Kita melihat didalam cerita silat dimana kebencian selalu dibalas dengan kebencian dan akibatnya adalah kehancuran semata - mata.

Bagi mereka yang meninggal dan masih membawa dendam akibat kebenciannya sewaktu masi hidup di dunia, mereka akan sengsara, rohnya akan gentayangan menjadi hantu, ingin membalaskan dendamnya kepada orang yang dibencinya. Rohnya tersesat tak bisa masuk sorga karena kemelekatan pada kehidupan didunia, padahal dia tidak mempunyai jasad lagi. Anak-anak sekarang mungkin sulit bisa menerima sikap dari Mahatma Gandhi yang dianggapnya konyol, pasip dan menyerah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh film-film mandarin yang selalu bertemakan pembalasan dendam dengan dalih menuntut keadilan. Permusuhan yang turun - temurun karena balas membalaskan rasa benci pasti menghancurkan kedua belah pihak.

Kemarahan akan sama buruknya dengan kebencian. Kemarahan menjadikan orang lupa kepada kebenaran. Kata-kata yang keras dan tajam serta tindakan yang kejam selalu muncul dari orang yang marah. Akibatnya kebaikan yang telah dirintis bertahun-tahun bisa lenyap dalam satu menit akibat kemarahan. Kemarahan akan bisa menjadikan mata gelap dan pikiran buntu. Untuk mengatasi kemarahan yang datangnya sering tiba-tiba maka disarankan :

1. Tariklah nafas pelan dan panjang (pranayama). Pusatkan pikiran pada jalannya nafas yang melalui hidung. Lakukan itu beberapa menit, maka kemarahan akan berkurang.

2. Jauhilah atau pergilah dari tempat atau obyek yang menimbulkan kemarahan. Alihkan pikiran kepada hal yang lain untuk sementara.

3. Minumlah air dingin segera, maka kesejukan itu akan mempengaruhi pula perasaan anda.

4. Jika tidak demikian, cobalah cepat-cepat berkaca, nanti anda akan melihat muka anda yang merah dengan wajah yang menyeramkan. Anda akan bisa tertawa sendiri melihatnya.

5. Berbaringlah dengan santai, lemaskan otot-otot tangan, kaki, mata dan mulut maka kemarahan anda akan berkurang.

Demikianlah beberapa cara untuk mengurangi kemarahan. Sadarlah dan ingatlah bahwa kemarahan itu seperti setumpuk jerami kering yang disulut dengan sebatang korek api akan musnah dalam sekejap. Demikian pula akibat kemarahan akan menghancurkan kebaikan-kebaikan yang terdahulu dalam sekejap.

Demikian pula dengan sifat iri hati adalah merupakan kebodohan yang sia-sia. Ketidaksenangan melihat orang lain berhasil serta kekecewaan karena diri sendiri tidak mampu, melahirkan iri yang menyesakkan dada. Iri hati adalah perpaduan antara "kemelekatan dengan ke-aku-an". Untuk melenyapkan iri hati maka lenyapkanlah kemelekatan dan keakuan itu melalui kesadaran. Sadarlah bahwa kita tak lebih dari seorang kasir yang beruntung dipercaya oleh Ida Sang Hyang Widhi untuk menjaga milik Beliau.

Karena itu apa yang dapat dibanggakan oleh seorang kasir? Perasaan yang mengira diri berjasa, merasa diri diperlukan atau diperhitungkan patut kita buang jauh-jauh untuk menghilangkan kesombongan diri "ego"itu. Sadarlah bahwa kita berhutang kepada bumi ini yang telah memberi kita makan, minum dan udara yang bersih oleh karena itu kita harus bayar dengan kerja dan bhakti yang tulus iklas dan penuh kesadaran. Dengan kesadaran akan kenyataan ini maka kemelekatan dan keakuan akan lenyap dan sifat iri hati pun lenyap pula.