Jumat, 09 Januari 2009

Suka Duka di Jaman Kali (Sebuah Fenomena Sosial)

Suka Duka di Jaman Kali (Sebuah Fenomena Sosial)
(by: Drs. I Wayan Catra Yasa)

Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma dan pembaca yang budiman,

Sebagaimana kita ketahui bahwa Hindu mengenal empat jaman dari Treta Yuga, Kertha Yuga, Dwapara Yuga dan yang terakhir adalah Kali Yuga. Kehidupan kita sekarang ini berada pada jaman kali Yuga. Pada jaman ini banyak hal yang terjadi dan bertentangan dengan hati nurani. Anehnya kegiatan yang justru bertentangan dengan konsep hati nurani banyak penggemarnya. Inilah yang perlu kita kaji dan menjadi acuan berpikir, berkata dan bertindak untuk tetap kiranya ajeg dalam tatanan ajaran Dharma.




Kehidupan ini terikat oleh suka dan duka, dimana segala pujian akan datang ketika dalam keadaaan suka dan begitu juga sebaliknya keadaan duka segala penderitaan dan hinaan datang bertamu kepada kita tanpa diuandang. Sesungguhnya Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak memberikan kita ujian berat yang melebihi kemampuan kita. Kejadian dan perbuatan asubha karma yang dilakukan oleh manusia pada saat ini merupakan contoh konkrit, bahwa ternyata antara kandungan suci falsafah agama yang begitu ideal ternyata pada pelaksanaannya tidaklah sejalan dengan ajaran agama, sistem pengendalian diri yang bersumber pada ajaran Tri Kaya Parisuda, pada saat ini tidak banyak orang yang mampu menerapkannya dengan berbagai alasan kondisi situasional. Penerapan berpikiran yang baik, saat ini sangat sulit dilakukan karena berbagai intrik pribadi maupun kelompok yang membentuk konfigurasi yang kompleks, sehingga manusia merasa saling berebut pembenaran untuk mencapai tujuan yang dianggap paling benar. Penerapan berkata yang baik sesungguhnya sulit juga dilakukan, tutur kata seseorang ibaratkan dapat membunuh orang lain meskipun tidak menyentuhnya secara phisik sedikitpun, tutur kata yang bijak menurut kelompok yang satu, belum tentu baik menurut kelompok yang lain, sehingga sulitlah berkata yang baik. Penerapan bertindak yang baik adalah hal yang lebih sulit lagi dijaman kali yuga ini. Sudah banyak hal-hal yang baik dilakukan misalnya kegiatan keagamaan, tirtayatra, korban suci dan yadnya yang menghabiskan biaya jutaan rupaih, tablik akbar, misa Gereja. Begitu juga banyak buku-buku agama yang tersedia sangat lengkap di mana-mana dan telah kita baca. Demikian pula halnya dengan banyaknya acara kegiatan solidaritas antara sesama manusia, juga telah banyak dilakukan di bumi Nusantara ini. Meditasi yang khusyuk, telah dilakukan oleh para sahabat spiritual, tetapi kenapa kekacauan ini tiada nampak berakhir?

Ada orang sedang diberikan ujian suka, hatinya gembira, hartanya melimpah, anak-anaknya berhasil, keluarganya sejahtera, sementara ada orang yang sedang diberikan ujian duka, hatinya bersedih, terperosok dalam kemiskinan, segala usaha ekonomi gagal, keluarganya morat marit. Pada hakekatnya kedua situasi di atas sesungguhnya sedang menguji umat manusia. Itulah resiko hidup di dunia yang terikat dengan material.

Bangsa Indonesia sejak dasa warsa terakhir disibukan oleh kegiatan para penguasa atau pemimpin negeri ini yang secara logika teori bisa menjadi pemimpin yang bijak, menjadi contoh ketika dia berada di garis depan atau sebagai pembangkit motivasi dikala berada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi pendengar setia ketika berada di balik layar. Tetapi apakah kenyataan yang kita jumpai, justru para penguasa memanfaatkan kesempatan itu untuk korupsi. Inilah fenomena yang terjadi di dunia material. Kegagalan dalam melaksanakan Catur Marga disebabkan karena segala perbuatan kita tidak menggunakan hati nurani di mana jiwa atman yang bersemayam di dalamnya. Kegiatan kegamaan yang nyata nampak, seolah semua itu telah sesuai dengan idealisme agama, namun kenapa kekacauan tetap terjadi? Kedudukan yang baik dan terhormat, posisi kuasa yang strategis, semua itu merupakan ujian bagi diri kita sendiri. Hal hal yang terjadi yang menyimpang dari Dharma merupakan timbangan tanggung jawab kita di hadapan Hyang Widhi sebagai pencipta alam raya semesta yang tengah memberikan ujian kepada kita.

Karma kita tidak bisa terhapus karena hal-hal baik ataupun buruk, tetapi semua saling mengisi dan sangat menentukan nilai perjalanan secara evolusi tentang atman. Kedudukan baik dan kesempatan baik hanyalah media uji kita, pada situasi demikian, kita harus menolong diri kita sendiri, karena ujian yang diberikan semakin sulit. Tindakan adharma adalah cerminan bagi kegagalan ujian kita, kegagalan ini harus dipertanggung jawabkan seperti yang tertuang dalam hukum karma. Pertanggung jawaban itu dapat saja datang ketika kita masih hidup di dunia, misalnya sang koruptor dapat dijebloskan ke dalam penjara, atau setelah kita tiada, sehingga dengan perbuatan yang asubha karma dapat mengakibatkan samsara, masuk neraka atau menjelma menjadi makhluk yang derajadnya lebih rendah.

Dengan demikian bahwa prinsip dengan hidup yang singkat, pergunakanlah sebaik-baiknya untuk merubah nasib kita di dunia material pada kehidupan yang akan datang. Kita sesungguhnya tidak menolong dunia, tetapi kita menolong diri kita sendiri, maka tolonglah diri kita sendiri selagi kita beruntung menjadi manusia yaitu dengan menyebarkan kebajikan, memberikan cinta kasih, bekerja tanpa pamerih untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia./f-igst

Semoga berguna,

Om Santih, Santih, Santih, Om

Tidak ada komentar:

Posting Komentar